Briefing № | Loading…

Briefing № | Loading…

Kita manusia generasi ‘Progress Bar’

Yap, sebuah generasi yang secara tidak sadar mengukur kemajuan dari seberapa cepat bar itu bergerak, bukan dari substansi apa yang sebenarnya sedang dimuat di dalamnya.

by rayn | Jun 18

Gaya hidup “On Demand”

Keseharian On Demand atau “sebutuhnya” dan serba cepat telah membentuk pola pikir baru. Inilah wajah generasi yang tak mau atau tak perlu menunggu. Mereka tumbuh dengan kecepatan, hidup dalam pilihan instan.

INSIGHT

  • Sejumlah studi global mengenai Massive Open Online Courses (MOOCs) seperti Coursera atau edX secara konsisten menunjukkan bahwa tingkat penyelesaian rata-rata sangat rendah, seringkali di bawah 10% bahkan 4%
  • Media review film menjamur, karena orang merasa cukup dengan tau ceritanya, tidak benar-benar tertarik nonton filmnya yang mengabiskan berjam-jam.
  • American Psychological Association (APA) menunjukkan bahwa multitasking—atau lebih tepatnya, task-switching—justru menurunkan produktivitas hingga 40%.
  • Goodstats (2024): di Indonesia, durasi video yang paling digemari adalah 1-5 menit. Hal yang menggambarkan kecendrungan ‘focus span’ rendah. 

Perut belum lagi merasa lapar tapi lidah sudah ingin mengecap. Tanpa disadari, tangan yang lebih dulu menggenggam gawai sudah memesan kopi Americano dan sekarang terlihat garis hijau semakin memanjang menuju lokasi saya. 

Itulah salah satu pengaplikasian progress bar, dan kita adalah generasi yang sangat familiar dengan benda ini. Progress bar ketika memesan kopi, ketika membeli keperluan rumah di toko online, ketika menonton streaming atau mengarkan lagu. Semua menampilkan progress bar. 

Kita sering mengutamakan progress,
tapi lupa menghargai proses.

Coba jujur, seberapa sering kita merasa lebih puas melihat progress bar instalasi aplikasi penuh 100% daripada saat benar-benar menggunakan aplikasinya? Atau rasa lega saat melihat semua task di Trello pindah ke kolom ‘Done’, padahal kualitas kerjaannya mungkin ‘Done… ya udahlah’? Selamat datang di era Generasi Progress Bar.

Kita adalah generasi yang hidup untuk melihat bar itu bergerak. Profil LinkedIn “All-Star”, Duolingo 365-day streak, badge achievement Strava atau aplikasi fitness. Kita mabuk oleh ilusi kemajuan, lebih peduli centang birunya daripada esensi di baliknya.

Secara neurologis, ini masuk akal. Setiap metrik kemajuan yang terlihat (angka, persen, badge) melepaskan dopamin instan ke otak kita. Platform digital didesain untuk mengeksploitasi ini. Lingkungan “on-demand” telah melatih kita untuk mendambakan feedback loop yang cepat.

Mau makan? 15 menit sampai. Mau nonton? Hitungan detik. Mau belajar skill baru? Ada video YouTube “Learn Python in 1 Hour”. Kita terkondisi untuk menghargai sinyal-sinyal kemajuan, bukan kemajuan itu sendiri.

Kita prefer menyelesaikan banyak targaet pekerjaan daripada benar-benar membuahkan karya yang memiliki value. Pokonya yang penting beres aja dulu, dan multitasking supaya bisa selesai banyak task, kemudian merasa produktif dengan itu.

Obsesi pada progress bar ini cendrung menstimulasi dua monster:

  1. Kecakapan Semu (The Illusion of Competence): Kita jadi jago memulai, bukan menyelesaikan. Kita punya 10 kursus online yang progress-nya 15%, tapi tidak ada satu pun yang tamat. Kita tahu buzzword dari semua bidang—AI, Web3, Stoicism—tapi pemahaman kita hanya sedalam kutipan di Instagram. Ini menciptakan generasi “Know Everything, Expert of Nothing”. Kita bisa ngobrol 5 menit tentang topik apa pun, tapi tidak bisa memimpin proyek tentang topik itu selama 5 bulan.
  2. Erosi Proses (The Erosion of Process): Bagian paling penting dari keahlian—yaitu proses yang berantakan, membosankan, penuh trial-and-error—jadi musuh. Karena proses tidak punya progress bar yang seksi. Latihan gitar yang jari kapalan? Riset mendalam yang bikin mata perih? Gagal, coba lagi, gagal lagi? Itu semua tidak instagrammable. Kita mau hasil akhir, tapi alergi dengan perjalanannya.

Jatuh cinta kembali pada proses

Di tengah lautan kedangkalan ini, keahlian yang mendalam (deep expertise) akan menjadi luxury currency. Peluangnya adalah melakukan apa yang tidak dilakukan orang lain:

Perlambat langkahmu, lihat lebih dalam dan jatuh cinta-lah kembali pada romantisnya sebuah proses.

  1. The Rise of ‘Invisible Mastery’: Tren ke depan bukanlah pamer sertifikat, tapi pamer portofolio hasil deep work. Kemampuan untuk fokus berjam-jam pada satu masalah kompleks akan jadi superpower. Lupakan progress bar harian, fokus pada project-based learning yang hasilnya nyata.
  2. Menjadi ‘Anti-Marketable’: Saat semua orang berlomba membangun personal brand yang serba bisa, pilihlah satu ceruk dan jadilah “orang itu”. Orang yang dicari bukan karena CV-nya ramai, tapi karena dia satu-dari sedikit yang bisa menyelesaikan masalah spesifik yang rumit.

    Di dunia ‘on-demand’, menjadi ahli yang ‘tidak bisa di-Google dalam 5 menit’ adalah keunggulan kompetitif tertinggi. —TBC

do not miss

KEUKEN Sunday Funday 2025

KEUKEN Sunday Funday 2025

Bandung selalu punya alasan untuk jadi destinasi akhir pekan, dan Agustus ini, salah satu yang paling layak disambangi adalah KEUKEN Sunday Funday. Diselenggarakan selama dua hari penuh, festival ini bukan hanya parade kuliner, tapi juga ruang temu antara rasa, gagasan, dan keberlanjutan.

5 Hal Mudah Mengisi Liburan Sekolah

5 Hal Mudah Mengisi Liburan Sekolah

Menjelang berakhirnya masa liburan sekolah, momen paling tepat untuk bantu anak melangkah ke masa depan, menuju Society 5.0 — dunia baru yang butuh manusia tech-savvy berjiwa kuat, berpikiran adaptif, dan teguh secara spiritual.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Discover more from The Briefing Club

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading